Sabtu, 26 Oktober 2013

Perbedaan Desain Kualitatif Dengan Desain Kuantitatif


Sebelum kita melakukan penelitian yang sebenarnya, kita perlu memahami dengan apa yang disebut sebagai Desain Penelitian. 
Desain penelitian merupakan prosedur-prosedur yang digunakan oleh peneliti dalam pemilihan, pengumpulan dan analisis data secara keseluruhan. Dapat dikatakan bahwa desain penelitian merupakan proses penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitian mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan penelitian yang dilakukan secara menyeluruh.
Semua hal yang ada dalam penelitian digambarkan dengan adanya desain penelitian.

Untuk Lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
 
KARAKTERISTIKKUANTITATIFKUALITATIF
DESAIN
-Spesifik, rinci dan jelas
-Ditentukan sejak awal
-Menjadi pedoman langkah selanjutnya 
-Umum
-Fleksibel
-Berkembang selama proses penelitian 
TUJUAN
-Menunjukkan hubungan antar variabel
-Menguji teori
-Mencari generalisasi yang mempunyai nilai prediktif
-Menemukan pola hubungan yang bersifat interaktif
-Menemukan teori
-Menggambarkan realitas yang kompleks
-Memperoleh pemahaman makna
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
-Kuesioner
-Observasi dan wawancara terstruktur
-Participant observation
-In dept interview
-Dokumentasi
-Triangulasi
INSTRUMEN PENELITIAN
-Test, angket, wawancara terstruktur
-Instrumen yang telah terstandar
-Peneliti sebagai instrumen
-Buku catatan, tape recorder, kamera, handycam, dll
DATA
-Kuantitatif
-Hasil pengukuran variabel
-Deskriptif/kualitatif
-Dokumen pribadi, catatan lapangan, ucapan/tindakan responden, dll
SAMPEL
-Besar
-Representatif
-Sedapat mungkin random
-Ditentukan sejak awal
-Kecil
-Tidak representatif
-Purposif, Snowball
-Berkembang selama proses penelitian
ANALISIS
- Setelah selesai pengumpulan data
-Deduktif
-Menggunakan statistik untuk menguju hipotesis
- Terus menerus sejak awal sampai akhir
-Induktif
-Mencari pola, model, tema, teori
HUBUNGAN DENGAN RESPONDEN
-Dibuat berjarak, bahkan tanpa kontak supoaya obyektif
- Kedudukan peneliti lebih tinggi daripada responden
-Jangka pendek sampain hipotesis dapat dibuktikan
- Empati, akrab supaya memperoleh pemahaman yang mendalam
-Kedudukan sama
-Jangka lama sampai data jenuh, dapat ditemukan hipotesis atau teori
USULAN DESAIN
-Luas dan rinci
-Literatur yang berhubungan dengan masalah dan variabel yang akan diteliti
-Prosedur spesifik dan rinci langkah-langkahnya
-Masalah dirumuskan dengan spsifik dan jelas
-Hipotesis dirumuskan dengan jelas
-Ditulis dengan rinci dan jelas sebelum terjun kelapangan
-singkat, umum bersifat sementara
-Literatur yang digunakan bersifat sementara. Tidak menjadi pegangan utama
-Prosedur bersifat umum
-Masalah bersifat sementara dan akan ditentukan setelah studi pendahulauan
-Tidak dirumuskan hipotesis
-Fokus penelitian ditentukan setelah diperoleh data awal
KAPAN PENELITIAN DIANGGAP SELESAI
Setelah semua kegiatan yang direncanakan dapat diselesaikan
Setelah tidak ada yang dianggap baru/sudah jenuh
KEPERCAYAAN TERHADAP HASIL PENELITIAN
Pengujian validitas dan reliabilitan instrumen
 Pengujian kredibilitas, depenabilitas, proses dan hasil penelitian



Bacaan Lainnya:

Pengkajian Keperawatan Keluarga
Peraturan Menteri Kesehatan No 17 Tentang Ijin Penyelenggaraan Praktek Keperawatan
Meminimalkan perdarahan dengan traksi kateter pada pasien Post Op TURP
Share:

Senin, 14 Oktober 2013

Trend Dan Issue Keperawatan Anak Terkait Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


Anak bukanlah miniatur dari orang dewasa, anak berbeda sifat, tingkah laku, keinginan yang berbeda dengan orang dewasa. Umumnya orang dewasa menganggap merawat anak sama dengan merawat dirinya sendiri dan perlakuannya pun tidak dibedakan.

Dewasa ini banyak hal yang terjadi terkait masalah-masalah anak yang mengakibatkan/berefek pada fisik maupun psikologis anak yang disebabkan oleh orang tua, lingkungan ataupun keterbatasan/kelainan yang ditimbulkan faktor genetik/biologis anak tersebut. Salah satunya adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Anak dengan kebutuhan khusus adalah istilah klasifikasi untuk menerangkan tentang anak dan remaja yang secara fisik, psikologis, dan atau sosial mengalami masalah yang serius dan menetap (Mohon and Kibirige, 2004).
 Anak dengan kemampuan khusus atau anak dengan kemampuan berbeda
mempunyai arti yang luas meliputi:
a) Anak dengan kemampuan lebih dan
b) Anak dengan kemampuan kurang
Anak Berkebutuhan Khusus memiliki atau berisiko tinggi terjadinya :
• Kondisi fisik kronik
• Perkembangan perilaku dan kondisi emosional
• Perkembangan yang menyimpang dari standar
Anak Berkebutuhan Khusus membutuhkan layanan khusus baik jenis, kualitas, kuantitas maupun intensitas layanan kesehatan yang lebih.
Anak Berkebutuhan Khusus juga memiliki atau berisiko tinggi terkait dengan masalah dilingkungan seperti pelecehan seksual terhadap anak dan penyalahgunaan zat adiktif/obat. (Katsner, 2004; Hommer, 2008)

Secara global diperkirakan ada 370 juta penyandang disabilitas atau sekitar 7% populasi dunia di mana 80 juta di antaranya membutuhkan rehabilitasi dan dari jumlah tersebut hanya 10% saja yang mempunyai akses ke pelayanan tersebut (WHO, 2002).
Di Indonesia diperkirakan sekitar 3-7% atau sekitar 5,5-10,5 juta anak usia di bawah 18 tahun (UU Perlindungan Anak no. 22 tahun 2004) menyandang ketunaan atau masuk kategori anak berkebutuhan khusus.
Penurunan angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian balita (AKABA) seharusnya tidak diikuti dengan peningkatan angka kecacatan (disability / difability).
Pengendalian angka kelahiran dan penurunan AKB dan AKABA -- program
peningkatan kualitas anak
* Life saving technology dan meningkatnya usia harapan hidup -- disabilitas meningkat

FAKTOR RISIKO DISABILITAS
a. Faktor genetik;
b. Faktor lingkungan baik lingkungan internal (faktor-faktor yang terdapat dalam diri janin/bayi atau anak itu sendiri) dan faktor ekstrinsik seperti kondisi ibu hamil, lingkungan tempat tinggal, pola asuh (otoriter, partisipatif, demokratis, permisif), pola makan,
c. Faktor rekayasa (terstruktur dan sistematis) baik rekayasa genetik maupun rekayasa lingkungan.

PENYEBAB DISABILITAS
 Disabilitas bawaan : biasanya terjadi ketika anak masih dalam kandungan yang disebabkan ibu mengalami gangguan penyakit atau metabolisme, kelainan kromosomal, gangguan genetik, dll
Disabilitas yang diturunkan (herediter): disebabkan kelainan genetik, misalnya : distrophia musculorum progresive, penyakit down syndrome.
Disabilitas yang tidak diturunkan (non-herediter) : disebabkan waktu ibu hamil minum alkohol berat, kurang gizi, mengalami infeksi rubella dan toxoplasma, kekurangan hormon thiroid, trauma pada perut ibu amil atau akibat radiasi.

 Disabilitas setelah lahir (didapat) : terjadi pada saat proses kelahiran bayi -- kesalahan penanganan waktu persalinan, terinfeksi penyakit, bakteri, virus, kurang gizi, kecelakaan
– Trauma kecelakaan
– Kecacatan akibat kecelakaan
– Kecacatan akibat bencana alam dan sosial
– Penyakit (Penyakit infeksi : TBC, polio, dll; Penyakit pengeroposan tulang; Penyakit metabolik; Penyakit gizi)

DETEKSI DINI ANAK DENGAN DISABILITAS
Deteksi dini merupakan upaya penjaringan atau penemuan anak berkelainan (penemuan kasus) dan penyaringan atau penemuan faktor risiko (Sunartini 1992, Sunartini 2007, Ali Syahbana, 1996). Tujuan deteksi dini menemukan kelainan atau penyakit yang menyebabkan sesuatu kecacatan/ketidakmampuan sedini mungkin sebelum kelainan atau kecacatan yang lebih serius muncul dengan akibat yang lebih buruk.
Beberapa kriteria untuk dilakukannya skrining antara lain :
1) Keadaan atau kelainan yang mempunyai nilai penting bagi kesehatan masyarakat;
2) Terdapat obat atau tindakan lain untuk menanganinya;
3) Adanya fasilitas diagnostik dan pengobatan yang memadai dan terbukti bekerja efektif untuk mengatasi kondisi hanya yang belum pasti/belum jelas;
4) Keadaan dalam fase laten atau tanda awal yang dapat dikenali oleh orang tuanya dan diketahui oleh profesional (dokter, perawat atau bidan);
5) Pemeriksaan yang dilakukan sedapat mungkin yang sederhana, mudah, dan valid untuk keadaan/kelainan yang masih menjadi pertanyaan.


INTERVENSI DINI ANAK DENGAN DISABILITAS
Imunisasi atau vaksinasi merupakan pemenuhan hak anak untuk mendapatkan perlindungan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (Sri Rejeki, 2000, Depkes,2006).
Intervensi dini meliputi rehabilitasi, substitusi hormon, diet khusus maupun tindakan-tindakan pengobatan, tindakan operasi maupun koreksi bila diperlukan.

ISSUE-ISSUE ANAK DENGAN DISABILITAS
a) Masalah pertumbuhan dan perkembangan anak
b) Hak anak tidak cukup disosialisasikan dan belum sepenuhnya dilaksanakan
c) Tidak terpenuhinya fasilitas kesehatan dan sekolah.
d) Anak dijadikan pekerja
e) Perdagangan anak
f) Anak berkebutuhan Khusus juga memiliki atau beresiko tinggi terkait dengan masalah dilingkungan seperti pelecehan seksual terhadap anak dan penyalahgunaan zat adiktif/obat.








Bahan Lainnya..

Toilet Training, Latihan mengontrol Kemih dan Buang Air Besar
Apa sih Endorfin/Endorphine itu
Terapi Kejang Listrik/Electro Convultion Therapy
Share:

Pengaruh Pola Asuh Terhadap Perkembangan Anak Todler pada Ibu Bekerja

Oleh : Jetris Saratial Sae 1, Koesnadi2, Heri Saputro2

Pendahuluan : Perkembangan anak selalu dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan masing-masing orang tua.
Jika perhatian, kasih sayang serta stimulasi perkembangan terhadap anak tetap dapat diberikan meskipun ibu bekerja, maka sebenarnya apa yang dilakukan seorang ibu adalah perbuatan yang sangat mulia, karena ibu telah berperan aktif dalam membantu perekonomian keluarga disamping tugas utamanya sebagai seorang ibu. Sedangkan ibu yang tidak bekerja juga mampu memberikan kasih sayang dan melakukan stimulasi perkembangan pada anak dengan baik.
Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui perbedaan pola asuh ibu yang bekerja dengan ibu yang tidak bekerja terhadap perkembangan anak usia todler (1-3 tahun) di Kelurahan Kampungdalem Kota Kediri.
Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan studi komparasi dengan pendekatan 
cross sectional. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Kampung dalem dengan menggunakan teknik Purposive Sampling. Jumlah sampel yang didapat 40 orang sesuai kriteria inklusi. Pengumpulan data menggunakan lembar Kuisoner sedangkan analisa data menggunakan uji statistik Mann-Whitney
Hasil : Dari hasil penelitian Pola Asuh yang di terapkan Ibu yang bekerja di Kelurahan Kampungdalem Kota Kediri yang terbanyak adalah pola asuh Otoriter sebanyak 16 responden (80%) dengan perkembangan anak sesuai perkembangan ada 1 orang, meragukan ada 5 orang dan menyimpang ada 10 orang. Sedangkan pola asuh yang di terapkan oleh ibu yang tidak bekerja di Kelurahan Kampungdalem Kota Kediri yang terbanyak adalah pola asuh demokratis sebesar 12 responden (60%) dengan perkembangan anak sesuai perkembangan ada 7 orang. Meragukan ada 4 orang dan menyimpang ada 1 orang. Sedangkan hasil analisis menunjukan bahwa ρ-Value 0,000 < α = 0.005 maka H0 ditolak atau ada pengaruh pola asuh ibu yang bekerja dengan ibu yang tidak bekerja terhadap perkembangan anak usia todler (1-3 tahun).
Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka disimpulkan bahwa yang bekerja dengan ibu yang tidak bekerja memiliki penerapan pola asuh yang berbeda, hal ini dapat mempengaruhi perkembangan anak.

Kata Kunci : Pola Asuh, Ibu Bekerja Dan Tidak Bekerja, Toddler

Share:

Kamis, 10 Oktober 2013

Rabu, 09 Oktober 2013

Toilet Training, Latihan Mengontrol Berkemih dan Defekasi


Toilet Training atau biasa dikenal dengan latihan BAB (Latihan Defekasi) dan BAK (Latihan Berkemih), terjadi sekitar usia 18 dan 24 bulan, saat kontrol volunter sfingter anal dan uretra tercapai.
Pada tahap ini memerlukan kesiapan psikologis anak, anak harus mampu mengeluarkan, menahan dan juga mengkomunikasikan sensasi ini kepada orang tua. Biasanya kesiapan psikologis dan fisiologis belum lengkap sebelum anak usia 18 sampai 24 bulan. Sebab pada masa ini, anak telah menguasai mayoritas keterampilan motorik kasar yang penting, sudah bisa mengkomunikasikan hal hal penting, menyadari kemampuan mengontrol diri dan memuaskan orang tua.
Menurut Luxem and Christophersen (1994) latihan defekasi lebih cepat dan mudah daripada latihan berkemih. Sensasi defekasi (BAB) lebih kuat, lebih teratur dan lebih mudah diramalkan serta dapat menarik perhatian anak. Banyak yang belum menyelesaikan latihan berkemih pada usia 4 dan 5 tahun dan bahkan penyelesaian latihan yang lebih dari usia tersebut masih normal.
Banyak teknik yang dapat membantu ketika memulai latihan, salah satunya pemilihan tempat duduk berlubang untuk eliminasi (Potty Chair) dan atau penggunaan toilet. Kemudian tempat duduk yang kakinya menjejak dilantai membuat anak merasa nyaman dan aman.
Anak laki-laki bisa memulai toilet training dengan posisi berdiri atau duduk/jongkok ditempat yang telah disediakan, meniru ayahnya selama masa prasekolah merupakan dorongan motivasi yang sangat kuat.
Sesi latihan harus dibatasi pada 5 sampai 10 menit, orang tua harus tetap mendampingi anak dan mengajarkan kebersihan (membersihkan) setiap kali selesai berkemih ataupun defekasi.
Selalu memberikan pujian positif disetiap tindakannya, serta memakaikan pakaian yang mudah dilepas, selain itu juga memberikan contoh bagaimana berkemih ataupun defekasi yang benar sangat dianjurkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah memukulnya bilapengeluaran eliminasi tidak pada tempatnya dan cara kontrol negatif HARUS dihindari (Taubman, 1997).
Anak mengompol disiang hari di tempat yang tidak semestinya adalah hal yang biasa terutama pada periode aktivitas intensif, anak kecil jika sudah bermain terkadang melupakan berkemih jika tidak diingatkan, oleh karena itu anak-anak harus sering diingatkan dan diantar ke wc/toilet/rest room.


Source;
Wong’s Essentials Of Pediatric Nursing, 6th Ed, Mosby Inc

Baca Juga: 

Share:

Kamis, 03 Oktober 2013

Tulis Disini

Nama

Alamat Email *

Isi Pesan *



Share:

Sample Text

Copyright © Sharing and Health Education | Powered by Blogger