Minggu, 26 Agustus 2012

ELECTRO CONVULTION THERAPY (TERAPI KEJANG LISTRIK)

PENGERTIAN
Suatu intervensi non farmakologis dengan menggunakan aliran listrik yang singkat melalui otak untuk menginduksi kejang menyeluruh di SSP dibawah anestesi umum dan relaksan otot
Merupakan terapi yang efektif untuk pasien yang menderita berbagai gangguan neuropsikiatrik dan pada pasien yang tidak berespon terhadap terapi farmakologis, mengalami efek samping yang berat sehingga medikasi tidak dapat ditoleransi, atau pasien dengan gejala sangat berat yang memerlukan intervensi mendesak dengan respon yang cepat.

SEJARAH
TKL ini berkembang secara empiris sejak tahun 1930-an. Pertama kali yang mengenalkan dan menggunakan TKL adalah Ugo Carletti dan L.Bini dengan dasar pemikiran model percobaan epilepsi yang menggunakan sengatan listrik untuk membangkitkan kejang (Wills,1976). Sejak pertama kali digunakan menimbulkan berbagai kontroversi. Karena melihat tindakan ECT/TKL merupkan tindakan yang “kejam dan barbar”(Mansfield dan Brian Harris,2000). Beberapa pasien yang mendapatkan terapi tersebut menggambarkan tindakan ECT merupakan hukuman bagi mereka atas tindakan yang telah mereka lakukan (The Independent,1998). Oleh karena hal tersebut tindakan ECT/TKL mengalami perkembangan, sehingga kesan tersebut di atas dapat berkurang. Pada tahun 1940 A.E Bernnett mengenalkan ECT/TKL dengan menambah obat muskulorelaksan sebelum pelaksanaan tindakan dilaksanakan, dengan alasan untuk meminimalisir efek samping fraktura. Sejak saat itu perkembangan penggunaan ECT/TKL memodifikasi dengan ; muskulorelaksan, anestesi umum dan oksigenasi (Berrios, 1983 dan Kaplan,1990).

MEKANISME KERJA
Efektifitas secara klinis ditentukan oleh bangkitan kejang pada SSP, sedangkan untuk kejang perifer tidaklah penting (Salzman,1979,Goldman,1984 dalam Giarto,1986).
Tujuan dari TKL/ECT adalah melampaui nilai ambang kejang (Berrios,1983). Ambang kejang adalah jumlah minimal muatan listrik yang menginduksi kejang pada SSP secara menyeluruh (Sadock,2000).
Cara kerja ECT/TKL sehingga mempunyai efek terapeutik belum diketahui dengan jelas (Willis,1974).
Cara kerja ECT/TKL sehingga mempunyai efekterapeutik belum diketahui dengan jelas.
a. Teori psikodinamik
Kalinowsky (1980) menjelaskan bahwa efek penyembuhan dari ECT/TKL didasarkan pada pemberian hukuman terhadap perasaan bersalah. Disamping itu amneseia yang timbul karena terapi akan menghilangkan ingatan – ingatan yang tidak menyenangkan dan keadaan ini yang dianggap berperan dalam perbaikan klinik. Tetapi teori ini diakui sangat lemah,k neurosis yang terutama disebabkan oleh oleh faktor psikogenik seharusnya akan bereaksi baik, tetapi kenyataannya neurosis bukan indikasi untuk ECT/TKL.
b. Teori organik.
Hipotesanya terjadi perubahan neurotransmiter pada membran sel (Kolb dan Brodie,1982). ECT akan meningkatkan sensitifitas reseptor terhadap neurotrasmiter (Leigh,et.al,1979 dalam Giarto,1986)Salzman,1979 mengemukakan ECT/TKL meningkatkan turn over dopamin dan serotonin, juga akan terjadi peningkatan pelepasan Nor epineprin dari neuron ke reseptor serta terjadi juga kenaikan sintesis nor epineprin. ECT/TKL akan menstimulasi pelepasan serotonin (Iskandar 1981). ECT/TKL mekanisme kerjanya mirip dengan obat anti depresan. Setyonegoro dan Iskandar (1981) mengemukakan pada depresi terjadi gangguan neurotrasmiter otak yaitu; penurunan Nor Epineprin, Serotonin daan dopamin. ECT/TKL mmenaikan Nor epineprin dan serotonin, maka depresi dapat disembuhkan , karena kedua neurotransmiter kembali normal.
Pada skizofrenia terjadi hipersensitifitas sistem dopamin, sehingga dopamin dicelah sinapsis meningkat. Dengan meningkatnya turn over dopamin karena TKL/ECT maka dopamin di celah sinapsis menjadi normal, sehingga skizofrenia bisa disembuhkan, akan tetapi tindakan ECT pada skizofrenia hanya ada sedikit bukti dalam mengubah gejala – gejala kronik skizofrenia.
Pada manik terjadi peningkatan fungsi dopaminergik (Reus, 1984 dalam Giarto 1986). Dopamin dicelah sinap meningkat, kerna turn over dopamin, maka dopamin dicelah sinapsi kembali normal, sehingga manik bisa sembuh.

Dosis
Diberikan 2 – 3 kali per minggu. Dengan intesitas dan waktu dari yang terkecil dari ambang kejang.
E. INDIKASI
1. Depresi
2. Manik
3. Skizofrenia
4. Katatonia
5. Kondisi lain

KONTRA INDIKASI
1. Tidak ada kontra indikasi yang absolut
2. Lesi kecil yang tersembunyi dan tidak daapat dideteksi dengan alat berada dalam resiko rendah.
3. Resiko tinggi dari tindakan ECT/TKL adalah :
a. Lessi SSP yang besar
b. Peningkatan TIK
c. Pergeseran garis tengan otak (midline shift) dengan pencitraan neurologis.
d. Tumor otak
e. Riwayat Bedah saraf
f. Fraktura tulang tengkorak
g. Stroke atau infak miokardial yang baru terjadi terutama jika ECT diberikan dalam 4 – 6 bulan setelah serangan.
h. Gagal jantung kongestif yang tidak terkompensasi.

KOMPLIKASI/EFEK SAMPING
1. Efek kardiovaskuler
2. Kematian
3. Gangguan fungsi kognitif
4. Kerusakan otak
5. Kejang spontan
6. Efek lain akibat ECT :

TEKNIK ECT/TKL
1. Mengenal alat Electroconvulsator
    Electro convulsator terdiri dari :
    a. Tombol power
    b. Electrode ( electroda + dan electrode - )
    c. Saklar pengatur waktu/timer
    d. Saklar pengatur intesitas
    e. Saklar pengatur cara masuknya arus (gelombang sinus atau gelombang dengan pulsasi singkat dan
        berulang).
2. Metode ECT
    a. ECT/TKL dengan kejang.
        Tanpa anestesi umum dan tanpa obat muskulorelaksan.
    b. ECT/TKL tanpa kejang.
        Dengan anestesi umum dan obat muskulorelaksan.
3. Cara penempatan electroda
    a. Unilateral
        - Penempatan pada hemisfer non dominan.
        - Gangguaan memori yang timbul lebih rendah dari pada perangsangan bilateral.
        - Jika gagal memberi respon terhadap ECT setelah pemberian 4 sampai 8 dengan dosis 2,5 sampai 5
           kali ambang kejang, jika memungkinkan dosis dinaikan samapi dengan 5 kali ambang kejang. Jika
           masih belum berspon, maka ganti dengan ECT bilateral.
    b. Bilateral
        - Penempatan elektrode pada bitemporofrontalis.
        - Dilakukan bila riwayat respon yang rendah terhadap ECT unilateral, pasien dengan riwayat respon
           yang baik terhadap ECT bilateral sebelumnya, atau pada pasien dengan gejala psikiatrik yang berat.
4. Stimulator ECT.
    a. Stimulus elektris harus cukup mengiduksi kejang menyeluruh (grandmall) dengan durasi yang mencukupi
        di SSP. Stimulasi yang hanya mengakibatkan kejang partial (fokal) tidak mempunyai keuntungan
        terapeutik.
    b. Karakteristik yang penting dari stimulator ECT, dilihat dari bentuk gelombang output ada 2 jenis alat electrokonvulsator :
- Gelombang sinus  terdapat pada ECT yang lama, dimana gelombang sinus cenderung untuk menimbulkan cetusan neuronal yang lebih tidak efisien.
- Gelombang dengan pulsasi singkat dan berulang (0,5 sampai 2,0 milisecon) dari arus listrik untuk mencetuskan potensial aksi pada kecepatan yang hampir sama dengan pola cetusan potensial aksi intrinsikdari neuron pada daerah kritis SSP, ini lebih disukai dimana relatif mudah untuk menghitung stimulus listriknya.
5. Tahap – tahap respon pasien pad tindakan ECT.
    Pasien yang mendapatkan ECT/TKL akan mengalami tahap – tahap sebagai berikut
    a. Kejang Tonik
    b. Kejang Klonik
    c. Kejang tonik dan klonik
    d. Apneu
    e. Confuse dan tertidur slema 1 jam bila tidak terganggu.
6. Protap ECT
Lihat lampiran.

Dalam melakukan tindakan ECT banyak hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh perawat pada saat:
Sebelum ECT, prosedur yang benar adalah:
1. Berikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur ECT.
2. Dapatkan persetujuan tindakan secara tertulis.
3. Puasakan setelah tengah malam.
4. Minta pasien untuk melepaskan perhiasan, jepit rambut, kacamata, alat egar dengar dan gigi palsu.
5. Pakaikan pakaian yang longgar dan nyaman.
6. Kosongkan kandung kemih pasien.
7. Berikan obat premedikasi (anestesi yang bekerja singkat dan perelaksasi otot).
8. Obat dan alat yang diperlukan harus tersedia dan siap pakai.
Saat pelaksanaan ECT:
1. Buat pasien merasa nyaman.
2. Dokter dan ahli anestesi akan memasangkan O2 untuk menyiapkan pasien yang mungkin akan mengalami apnea karena relaksasi otot.
3. Berikan obat
4. Letakkan pengganjal pada mulut untuk melindungi gigi pasien.
5. Letakkan electrode kemudian berikan syok.
Setelah dilakukan ECT, hendaknya dilakukan pemantauan dengan:
1. Bantu pemberian O2 dan penghisapan lender sebagaimana mestinya.
2. Pantau tanda-tanda vital.
3. Setelah pernapasan pulih kembali, atur pasien dengan posisi miring sampai sadar. Pertahankan kelancaran jalan napas.
4. Jika berespon orientasikan pasien.
5. Gerakkan tubuh pasien dengan bantuan setelah mengecek kemungkinan hipotensi postural.
6. Biarkan Pasien tidur sesaat jika diinginkan.
7. Berikan makanan ringan.
8. Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasi sebagaimana diperlukan.
9. Tawarkan obat analgetik untuk sakit kepala sebagaimana diperlukan.


I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Inform Concent
c. Pemeriksaan yang harus dikerjakan sebelum pelaksanaan adalah
Riwayat penyakit (pernah atau sedang sakit fisik seperti panas, post stroke) TTV, Pemeriksaan fisik : EKG, Ro Thorak, darah rutin, kebersihan jalan nafas.
2. Masalah keperawatan yang mungkin muncul.
Sebelum dilakukan tindakan ECT :
a. Cemas
b. Kurang pengetahuan tentang prosedur pengobatan.,
Selama pelaksanaan ECT
a. Inefective breathing pattern
b. Risk for trauma.
Setelah pelaksanaan ECT
a. Risk for trauma.
b. Confusion acut
c. Impaired Memory.
3. Perencanaan dan Implementasi
a. Anxiety reduction
b. Enviroment management
c. Prevention fall
d. Physical restrain
e. Vital sign monitor
f. Seclution
g. O2 therapy, memory training, Reality OrientationEvaluasi.
5. Evaluasi
a. Nafas spontan
b. TTV normal
c. Tdk ada keluhan pusing
d. Tidak ada mual – muntah


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Sample Text

Copyright © Sharing and Health Education | Powered by Blogger