Selasa, 28 Agustus 2012

Meminimalkan Perdarahan dengan Pemasangan Traksi Kateter Pada Pasien Post Op TURP

Oleh : Mochammad Sodiq 1, Sentot Imami2, Heri Saputro2


Latar Belakang: Trans Uretral Reseksi Prostat merupakan Gold Standar untuk BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) di dunia, tindakan ini dilakukan dengan cara reseksi atau pengerokan jaringan prostat melalui uretra dengan alat resektoskop dengan tujuan destruksi dari saluran kencing. Traksi kateter bertujuan mengurangi perdarahan dengan menarik balon kateter ke arah balderneck dan menghalangi masuknya perdarahan prostat kedalam kandung kemih.
Tujuan Penelitian: Mengetahui pengaruh pemasangan traksi kateter pada pasien Post Op TURP terhadap timbulnya perdarahan.
Metode Penelitian: Jenis penelitian ini menggunakan desain pra experiment one-group pra test post test design. Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Seruni RSUD Gambiran Kota Kediri pada tanggal 20 Februari 2012-20 April 2012.  Subjek penelitian adalah pasien Post Op TURP yang dirawat di Ruang Seruni RSUD Gambiran Kota Kediri diambil dengan menggunakan teknik Purposive Sampling.  Jumlah sampel yang didapat sebanyak 25 orang  dan sudah ditentukan berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar observasi. Data dianalisis menggunakan Uji Cochran.
Hasil: Dari observasi 30 menit menjelang akhir operasi sebelum pemasangan traksi kateter terjadi perdarahan sebesar 48%, setelah pemasangan traksi kateter diobservasi 1-12 jam terjadi perdarahan sebesar 20% dan observasi 12-24 jam terjadi perdarahan sebesar 8%.
Kesimpulan : Terdapat pengaruh pemasangan traksi kateter pada pasien post op TURP terhadap timbulnya perdarahan dengan p 0,001.
Kata Kunci: Trans Uretral Reseksi Prostat, Traksi Kateter, Perdarahan


Pendahuluan

  BPH (Benign Prostatic Hyperplacia) adalah suatu neoplasma jinak yang mengenai kelenjar prostate yang menyebabkan gangguan fungsi buang air kecil. Proses ini biasanya dimulai pada usia sekitar 35 tahun dan mulai progresif menurut bertambahnya usia pria. Penelitian menunjukkan golongan pria yang berumur 60-69 tahun, pada 51% diantaranya menderita BPH (Soenarjo. H, 2005)
            Sistem pengobatan penyakit ini adalah dengan cara operasi dengan tehnik terbaru yaitu opersai TUR-P (Trans Uretral Reseksi Prostat). Menurut Soenarjo. H, 2005. TUR-P adalah tindakan pembedahan yang merupakan baku emas/gold standart.
            Data di Amerika menunjukkan pasien prostat yang dilakukan pembedahan dengan TUR-P tiap tahunnya 5000-6000 pasien. Sedangkan di Sekretariat Urologi Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 1998 sebanyak 284 pasien, tahun 1999 sebanyak 171 pasien dan pada tahun 2000 sebanyak 264 pasien yang dilakukan operasi TUR-P
            Di RSUD Gambiran sendiri pada tahun 2009 dari 416 pasien Urologi yang dilakukan tindakan TUR-P sebanyak 349 atau 75 % dan sampai bulan September 2011 dari 395 pasien, yang dilakukan TUR-P sebanyak 305 pasien atau 78%.
            Penyulit atau komplikasi yang sring timbul pada penderita TUR-P salah satunya adalah terjadinya perdarahan di dalam kandung kemih, sehingga menyebabkan pembekuan darah yang disebut clots. Hal ini dapat menyebabkan tersumbatnya lumen atau lubang kateter, sehingga menimbulkan pembendungan air kemih/retensi urine. Sebanyak 1-2 persen setiap tahunnya didapatkan kasus ini di RSUD Gambiran Kota Kediri.

Metode

desain penelitian ini adalah pra experiment one-group pra test post test design, yang bermaksud mengungkap hubungan sebeb akiabt dengan cara melibatkan satu kelompok. Dimana pengujian sebab akibat dengan cara membandingkan hasil pre test dengan post test. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien post operasi TUR-P yang terpasang traksi kateter di Ruang Seruni RSUD Gambiran Kota Kediri. Tehnik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, dengan sampel sebanyak 25 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dam esklusi dari tanggal 20 Februari sampai terpenuhinya jumlah sampel yang diperlukan dalam penelitian ini. Dimana kriteria inklusi adalah:
  1. Usia 40-75 tahun
  2. Pasien bersedia untuk diteliti
  3. Pasien post operasi hari pertama
  4. Paien yang terpasang traksi kateter
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel Independen yaitu pemasangan traksi kateter. Variabel dependen yaitu timbulnya perdarahan (clots)

Hasil
Frekuensi Terjadinya Perdarahan 30 menit setelah operasi TURP selesai 

Traksi Kateter
  Dari observasi perdarahan dalam waktu 30 menit setelah operasi TURP berakhir sebelum dipasang traksi kateter didapatkan bahwa 48% responden terjadi perdarahan dan 52% responden tidak mengalami perdarahan.
            Perdarahan pada operasi prostat sekarang jarang terjadi dikarenakan kemajuan tehnik operasi serta makin baiknya mempersiapkan pasien. Pada reseksi trans uretra, perdarahan biasanya terjadi bila sinus venosus periprostatika tereseksi (Sunaryo, 2005). Menurut Doddy, (2001) pada operasi TUR-P setiap  gerakan reseksi (walaupun dengan diathermi) akan memyebabkan darah memancar, perdarahan yang keluar memancar bercampur flush sekitar 10-20 liter, perkiraan perdarahan yang keluar jumlahnya sedikit.
            Timbulnya perdarahan pada durante operasi masih bisa terjadi meskipun dengan kemajuan tehnologi dan kemajuan tehnik operasi TRU-P, seperti halnya pembedahan yang lain, pembedahan prostat, open maupun TUR-P juga terjadi penyulit.
            Terjadinya perdarahan 30 menit pasca operasi TUR-P 30 menit disebabkan oleh karena bekas luka reseksi (kerokan) masih terdapat perdarahan kecil, oleh sebab itu harus segara dipasang triway kateter dengan balon diisi 40 cc. Selanjutnya triway kateter ditarik kearah bawah dipasang traksi kateter dengan harapan balon kateter akan menekan luka bekas reseksi agar tidak terjadi perdarahan.
Frekuensi Terjadinya Perdarahan Post Operasi TURP 1-12 Jam


Pada observasi 1-12 jam setelah post operasi TURP didapatkan sebesar 20% responden terjadi perdarahan, sedangkan 80% reponden tidak mengalami perdarahan post operasi TURP.
            Salah satu penyulit terapi pembedahan prostat pasca operasi dini adalah perdarahan sekunder. Perdarahan sekunder adalah perdarahan atau haematuria yang terjadi setelah sebelumnya urine jernih. Penderita dianjurkan minum banyak, mengurangi aktifitas dan tidak boleh mengejan (Sunarjo, 2005). Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan 1-12 jam post operasi adalah defisiensi vitamin K, hal ini sesuai dengan Catherin, (2007). Penyebab lain yang menurunkan pembentukan factor pembekuan oleh hati adalah vitamin K. Vitamin K diperlukan untuk pembentukan lima factor pembekuan yang penting yaitu protrombin, factor VII, factor IX, factor X dan protein. Dalam keadaan tanpa vitamin K kekurangan factor pembekuan tersebut dapat pula menjurus ke perdarahan serius.
            Adanya kekurangan vitamin K pada responden penelitian tidak bisa dideteksi oleh karena pada prosedur persiapan operasi pemeriksaan laboratorium yang dilaksanakan hanya pemeriksaan haemostasis yaitu CT,BT, sedangkan pemeriksaan lengkap lain untuk mengetahui factor pembekuan darah belum dilakukan. Terjadinya perdarahan 1-12 jam post TURP mungkin pula dari kekurangan vitamin K tersebut, karena pasien yang hasil pemeriksaan laboratorium CT, BT yang tidak normal tidak akan dilakukan tindakan operasi oleh operatornya. 
            Terjadinya perdarahan post operasi karena adanya waktu perdarahan yang memanjang. Sehingga hasil penelitian ini membuktikan bahwa perdarahan yang terjadi pada post TURP 1-12 jam masih bisa terjadi. Apabila terjadi perdarahan yang berlanjut dan hebat maka operator akan memberikan terapi untuk menghentikan perdarahan seperti Transamin® intravena
            Adanya pengendoran pemasangan traksi kateter disebabkan oleh karena pasien sebagian besar sudah berumur lebih dari 65 tahun, sehingga pada saat post operasi TUR-P dan setelah dipasang traksi pasien sulit diberi pengertian tentang manfaat pemasangan traksi kateter dimana kaki yang terpasang traksi kateter seringkali ditekuk yang sebenarnya belum boleh dilakukan pasien post operasi TUR-P dimana hal ini akan bisa menyebabkan masih terjadinya perdarahan yang terlihat pada urine bag berwarna kemerah-merahan
Frekuensi Terjadinya Perdarahan Post Operasi TURP 12-24 Jam
Perdarahan yang terjadi post operasi 12-24 jam pada responden penelitian ini adalah sebesar 8% terjadi perdarahan, sedangkan sisanya 92% responden tidak terjadi perdarahan post operasi TURP setelah 12-24 jam.

            Menurut Arthur (2007), setelah 20 menit - 1 jam bekuan darah akan mengalami retraksi dan ini akan menutup luka. Kecilnya frekuensi perdarahan yang terjadi pada saat 12-24 jam disebabkan oleh pasangan traksi kateter yang dilakukan setelah operasi TURP langsung dilakukan. Menurut Kolmert dan Norlen dalam Abdullah (2009), bila terdapat perdarahan pasca TURP ahli Urologi sering melakukan traksi kateter, sehingga balon kateter tertarik kearah bladderneck dan menghalangi masuknya perdarahan prostat ke dalam buli-buli.
            Pemasangan traksi post operasi TURP pasca operasi dipasang folley kateter 24 Fr tiga cabang dengan balon diisi aqua 40 cc dan irigasi NaCL 0,9% dengan kecepatan 500ml/jam. Tujuan pemasangan traksi ini diharapkan perdarahan vena sudah berhenti oleh tampon balon kateter.
            Bekuan darah terdiri dari benang fibrin yang berjalan dalam segara arah dan menjerat sel darah, trombosit dan plasma. Benang-benang fibrin juga melekat pada permukaan darah yang rusak, oleh karena itu bekuan darah menempel pada lubang di pembuluh darah dan dengan demikian mencegah kebocoran. Dengan penekanan melalui traksi kateter diharapkan bekuan darah pada bekas luka sayatan operasi tidak lepas sehingga membantu proses penghentian keluarnya darah.
            Terjadinya perdarahan pasca operasi TUR-P dalam waktu 12-14 jam sebagian pasien disebabkan pada waktu BAB mengejan, sehingga ada penekanan dari kandung kemih yang bisa menyebabkan terjadinya perdarahan lagi.

Kesimpulan
  Berdasarkan hasil uji Cochran didapatkan p= 0,001 dimana p< 0,05 sehingga H 1 diterima ada pengaruh pemasangan traksi kateter terhadap terjadinya perdarahan pada pasien paot operasi TURP

Referensi

Abdullah.F.(2009) Traksi Kateter www.jurnal bedah.com (diunduh Thrusday 09 July 01.30)
Arthur C. Guyton & John E. Hall. (2007). Buku Ajar Fisiologi  Kedokteran, Edisi 9, terjemahan Irawati dkk. EGC : Jakarta.
Basuki B Purnomo. (2009). Dasar-dasar Urologi, SMF / lab. Ilmu Bedah RSUD Saiful Anwar. FK Unibraw : Malang.
Doddy M.S. & Karleni Putu. (2008). Simposium Asuhan Keperawatan Pada Penderita Pasca TURPSurabaya
Holf Brand A.V., dan Petit J.E. (2006). Kapita Selecta Kedokteran, Edisi 2. EGC: Jakarta.
Notoadmojo, Soekidjo. (2003). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Andi Offset : Yogyakarta.
Nur Salam. (2003). Konsep Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis dan Istrumen Penelitian, edisi Pertama, Salemba Medika :  Jakarta.
Purnawan Junaidi, (2002). Trans Uretral Reseksi Porstat. Studi Program Urologi. FK Unair / RUD dr. Soetomo : Surabaya
Pratanu, dkk. (2004). Reseksi Trans Uretra Penyulit Intra Operasi dan Penyulit Dini. Program Studi Urologi FK. UNAIR / RSUD dr. Soetomo : Surabaya.
Sally Leoni, M & Kuncoro Ningrat. (2007). Psikologi Sosial Untuk Perawat. EGC : Jakarta
Sastro Asmoro. & Ismail. (2005). Dasar–dasar Metodologi Penelitian. Bina Taruna : Jakarta.
Smet Bart. (2004). Psikologi Kesehatan. PT Gramedia Widia Sarana Indonesia : Jakarta.
Soebandiri. (2006). Hematologi, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan V. UPF Penyakit Dalam FK. Unair / RSUD dr. Soetomo : Surabaya.
Soenarjo Hardjo Wijoto. (2005). Benigna Prostat Hyperplasia. Studi Program Urologi, FK UNAIR / RSUD dr. Soetomo : Surabaya.
Soenaryo Hardjo Wijoto.& Adi Santoso (2005). Simposium Asuhan Keperawatan Urologi. Disajikan dalam Pendidikan Perawat Berkelanjutan : Surabaya.
Sugiyono. (2005). Statistika Untuk Penelitian. CV Alfa Beta : Surabaya.
Teguh ,(2004), Cara mudah melakukan analisa statistik dengan SPSS, Gava MediaYogyakarta
Winston K. Mebust MD. (2007). Cambells Urologi. WB, Sunders Company Philadelphia : L
Share:

Minggu, 26 Agustus 2012

ELECTRO CONVULTION THERAPY (TERAPI KEJANG LISTRIK)

PENGERTIAN
Suatu intervensi non farmakologis dengan menggunakan aliran listrik yang singkat melalui otak untuk menginduksi kejang menyeluruh di SSP dibawah anestesi umum dan relaksan otot
Merupakan terapi yang efektif untuk pasien yang menderita berbagai gangguan neuropsikiatrik dan pada pasien yang tidak berespon terhadap terapi farmakologis, mengalami efek samping yang berat sehingga medikasi tidak dapat ditoleransi, atau pasien dengan gejala sangat berat yang memerlukan intervensi mendesak dengan respon yang cepat.

SEJARAH
TKL ini berkembang secara empiris sejak tahun 1930-an. Pertama kali yang mengenalkan dan menggunakan TKL adalah Ugo Carletti dan L.Bini dengan dasar pemikiran model percobaan epilepsi yang menggunakan sengatan listrik untuk membangkitkan kejang (Wills,1976). Sejak pertama kali digunakan menimbulkan berbagai kontroversi. Karena melihat tindakan ECT/TKL merupkan tindakan yang “kejam dan barbar”(Mansfield dan Brian Harris,2000). Beberapa pasien yang mendapatkan terapi tersebut menggambarkan tindakan ECT merupakan hukuman bagi mereka atas tindakan yang telah mereka lakukan (The Independent,1998). Oleh karena hal tersebut tindakan ECT/TKL mengalami perkembangan, sehingga kesan tersebut di atas dapat berkurang. Pada tahun 1940 A.E Bernnett mengenalkan ECT/TKL dengan menambah obat muskulorelaksan sebelum pelaksanaan tindakan dilaksanakan, dengan alasan untuk meminimalisir efek samping fraktura. Sejak saat itu perkembangan penggunaan ECT/TKL memodifikasi dengan ; muskulorelaksan, anestesi umum dan oksigenasi (Berrios, 1983 dan Kaplan,1990).

MEKANISME KERJA
Efektifitas secara klinis ditentukan oleh bangkitan kejang pada SSP, sedangkan untuk kejang perifer tidaklah penting (Salzman,1979,Goldman,1984 dalam Giarto,1986).
Tujuan dari TKL/ECT adalah melampaui nilai ambang kejang (Berrios,1983). Ambang kejang adalah jumlah minimal muatan listrik yang menginduksi kejang pada SSP secara menyeluruh (Sadock,2000).
Cara kerja ECT/TKL sehingga mempunyai efek terapeutik belum diketahui dengan jelas (Willis,1974).
Cara kerja ECT/TKL sehingga mempunyai efekterapeutik belum diketahui dengan jelas.
a. Teori psikodinamik
Kalinowsky (1980) menjelaskan bahwa efek penyembuhan dari ECT/TKL didasarkan pada pemberian hukuman terhadap perasaan bersalah. Disamping itu amneseia yang timbul karena terapi akan menghilangkan ingatan – ingatan yang tidak menyenangkan dan keadaan ini yang dianggap berperan dalam perbaikan klinik. Tetapi teori ini diakui sangat lemah,k neurosis yang terutama disebabkan oleh oleh faktor psikogenik seharusnya akan bereaksi baik, tetapi kenyataannya neurosis bukan indikasi untuk ECT/TKL.
b. Teori organik.
Hipotesanya terjadi perubahan neurotransmiter pada membran sel (Kolb dan Brodie,1982). ECT akan meningkatkan sensitifitas reseptor terhadap neurotrasmiter (Leigh,et.al,1979 dalam Giarto,1986)Salzman,1979 mengemukakan ECT/TKL meningkatkan turn over dopamin dan serotonin, juga akan terjadi peningkatan pelepasan Nor epineprin dari neuron ke reseptor serta terjadi juga kenaikan sintesis nor epineprin. ECT/TKL akan menstimulasi pelepasan serotonin (Iskandar 1981). ECT/TKL mekanisme kerjanya mirip dengan obat anti depresan. Setyonegoro dan Iskandar (1981) mengemukakan pada depresi terjadi gangguan neurotrasmiter otak yaitu; penurunan Nor Epineprin, Serotonin daan dopamin. ECT/TKL mmenaikan Nor epineprin dan serotonin, maka depresi dapat disembuhkan , karena kedua neurotransmiter kembali normal.
Pada skizofrenia terjadi hipersensitifitas sistem dopamin, sehingga dopamin dicelah sinapsis meningkat. Dengan meningkatnya turn over dopamin karena TKL/ECT maka dopamin di celah sinapsis menjadi normal, sehingga skizofrenia bisa disembuhkan, akan tetapi tindakan ECT pada skizofrenia hanya ada sedikit bukti dalam mengubah gejala – gejala kronik skizofrenia.
Pada manik terjadi peningkatan fungsi dopaminergik (Reus, 1984 dalam Giarto 1986). Dopamin dicelah sinap meningkat, kerna turn over dopamin, maka dopamin dicelah sinapsi kembali normal, sehingga manik bisa sembuh.

Dosis
Diberikan 2 – 3 kali per minggu. Dengan intesitas dan waktu dari yang terkecil dari ambang kejang.
E. INDIKASI
1. Depresi
2. Manik
3. Skizofrenia
4. Katatonia
5. Kondisi lain

KONTRA INDIKASI
1. Tidak ada kontra indikasi yang absolut
2. Lesi kecil yang tersembunyi dan tidak daapat dideteksi dengan alat berada dalam resiko rendah.
3. Resiko tinggi dari tindakan ECT/TKL adalah :
a. Lessi SSP yang besar
b. Peningkatan TIK
c. Pergeseran garis tengan otak (midline shift) dengan pencitraan neurologis.
d. Tumor otak
e. Riwayat Bedah saraf
f. Fraktura tulang tengkorak
g. Stroke atau infak miokardial yang baru terjadi terutama jika ECT diberikan dalam 4 – 6 bulan setelah serangan.
h. Gagal jantung kongestif yang tidak terkompensasi.

KOMPLIKASI/EFEK SAMPING
1. Efek kardiovaskuler
2. Kematian
3. Gangguan fungsi kognitif
4. Kerusakan otak
5. Kejang spontan
6. Efek lain akibat ECT :

TEKNIK ECT/TKL
1. Mengenal alat Electroconvulsator
    Electro convulsator terdiri dari :
    a. Tombol power
    b. Electrode ( electroda + dan electrode - )
    c. Saklar pengatur waktu/timer
    d. Saklar pengatur intesitas
    e. Saklar pengatur cara masuknya arus (gelombang sinus atau gelombang dengan pulsasi singkat dan
        berulang).
2. Metode ECT
    a. ECT/TKL dengan kejang.
        Tanpa anestesi umum dan tanpa obat muskulorelaksan.
    b. ECT/TKL tanpa kejang.
        Dengan anestesi umum dan obat muskulorelaksan.
3. Cara penempatan electroda
    a. Unilateral
        - Penempatan pada hemisfer non dominan.
        - Gangguaan memori yang timbul lebih rendah dari pada perangsangan bilateral.
        - Jika gagal memberi respon terhadap ECT setelah pemberian 4 sampai 8 dengan dosis 2,5 sampai 5
           kali ambang kejang, jika memungkinkan dosis dinaikan samapi dengan 5 kali ambang kejang. Jika
           masih belum berspon, maka ganti dengan ECT bilateral.
    b. Bilateral
        - Penempatan elektrode pada bitemporofrontalis.
        - Dilakukan bila riwayat respon yang rendah terhadap ECT unilateral, pasien dengan riwayat respon
           yang baik terhadap ECT bilateral sebelumnya, atau pada pasien dengan gejala psikiatrik yang berat.
4. Stimulator ECT.
    a. Stimulus elektris harus cukup mengiduksi kejang menyeluruh (grandmall) dengan durasi yang mencukupi
        di SSP. Stimulasi yang hanya mengakibatkan kejang partial (fokal) tidak mempunyai keuntungan
        terapeutik.
    b. Karakteristik yang penting dari stimulator ECT, dilihat dari bentuk gelombang output ada 2 jenis alat electrokonvulsator :
- Gelombang sinus  terdapat pada ECT yang lama, dimana gelombang sinus cenderung untuk menimbulkan cetusan neuronal yang lebih tidak efisien.
- Gelombang dengan pulsasi singkat dan berulang (0,5 sampai 2,0 milisecon) dari arus listrik untuk mencetuskan potensial aksi pada kecepatan yang hampir sama dengan pola cetusan potensial aksi intrinsikdari neuron pada daerah kritis SSP, ini lebih disukai dimana relatif mudah untuk menghitung stimulus listriknya.
5. Tahap – tahap respon pasien pad tindakan ECT.
    Pasien yang mendapatkan ECT/TKL akan mengalami tahap – tahap sebagai berikut
    a. Kejang Tonik
    b. Kejang Klonik
    c. Kejang tonik dan klonik
    d. Apneu
    e. Confuse dan tertidur slema 1 jam bila tidak terganggu.
6. Protap ECT
Lihat lampiran.

Dalam melakukan tindakan ECT banyak hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh perawat pada saat:
Sebelum ECT, prosedur yang benar adalah:
1. Berikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur ECT.
2. Dapatkan persetujuan tindakan secara tertulis.
3. Puasakan setelah tengah malam.
4. Minta pasien untuk melepaskan perhiasan, jepit rambut, kacamata, alat egar dengar dan gigi palsu.
5. Pakaikan pakaian yang longgar dan nyaman.
6. Kosongkan kandung kemih pasien.
7. Berikan obat premedikasi (anestesi yang bekerja singkat dan perelaksasi otot).
8. Obat dan alat yang diperlukan harus tersedia dan siap pakai.
Saat pelaksanaan ECT:
1. Buat pasien merasa nyaman.
2. Dokter dan ahli anestesi akan memasangkan O2 untuk menyiapkan pasien yang mungkin akan mengalami apnea karena relaksasi otot.
3. Berikan obat
4. Letakkan pengganjal pada mulut untuk melindungi gigi pasien.
5. Letakkan electrode kemudian berikan syok.
Setelah dilakukan ECT, hendaknya dilakukan pemantauan dengan:
1. Bantu pemberian O2 dan penghisapan lender sebagaimana mestinya.
2. Pantau tanda-tanda vital.
3. Setelah pernapasan pulih kembali, atur pasien dengan posisi miring sampai sadar. Pertahankan kelancaran jalan napas.
4. Jika berespon orientasikan pasien.
5. Gerakkan tubuh pasien dengan bantuan setelah mengecek kemungkinan hipotensi postural.
6. Biarkan Pasien tidur sesaat jika diinginkan.
7. Berikan makanan ringan.
8. Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasi sebagaimana diperlukan.
9. Tawarkan obat analgetik untuk sakit kepala sebagaimana diperlukan.


I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Inform Concent
c. Pemeriksaan yang harus dikerjakan sebelum pelaksanaan adalah
Riwayat penyakit (pernah atau sedang sakit fisik seperti panas, post stroke) TTV, Pemeriksaan fisik : EKG, Ro Thorak, darah rutin, kebersihan jalan nafas.
2. Masalah keperawatan yang mungkin muncul.
Sebelum dilakukan tindakan ECT :
a. Cemas
b. Kurang pengetahuan tentang prosedur pengobatan.,
Selama pelaksanaan ECT
a. Inefective breathing pattern
b. Risk for trauma.
Setelah pelaksanaan ECT
a. Risk for trauma.
b. Confusion acut
c. Impaired Memory.
3. Perencanaan dan Implementasi
a. Anxiety reduction
b. Enviroment management
c. Prevention fall
d. Physical restrain
e. Vital sign monitor
f. Seclution
g. O2 therapy, memory training, Reality OrientationEvaluasi.
5. Evaluasi
a. Nafas spontan
b. TTV normal
c. Tdk ada keluhan pusing
d. Tidak ada mual – muntah


Share:

Sample Text

Copyright © Sharing and Health Education | Powered by Blogger