Selasa, 23 April 2019

Sabtu, 01 Desember 2018

Pendidikan dan Pelatihan Dalam Keperawatan

Pendidikan Keperawatan di Indonesia

Pendidikan keperawatan di indonesia melalui banyak proses dan banyak tahapan, dimulai dengan pembantu rawat, sekolah perawat, sekolah perawat kesehatan (SPK), diploma keperawatan, sarjana keperawatan, magister keperawatan hingga Doktor Keperawatan.
Perkembangan ini melalui proses yang panjang agar dapat terakuinya bahwa perawat merupakan sebuah profesi.
Dilema saat ini adalah disaat undang-undang keperawatan sudah mencantumkan bahwa pendidikan perawat adalah minimal diploma III keperawatan, saat ini bermunculan SMK kesehatan yang mengambil jurusan keperawatan.


To Be Continue . . .
Materi Kegiatan..
Lampiran SK Kegiatan..
Share:

Senin, 27 Agustus 2018

Penanganan Luka Bakar pada anak

Luka bakar merupakan luka yang paling umum terjadi pada anak-anak.
81,7 % kejadian luka bakar pada anak-anak adalah dirumah (Anzba, 2010).
Dilaporkan 2010-2014 sebanyak 435 orang dan hampir 60% berusia dibawah 17 tahun (Harian Bhirawa, 2014).

Penyebab luka bakar pada anak meliputi
- Thermal Burn (Knalpot, setrika, air panas, lilin)
- Chemical Burn (Asam, alkali)
Electrical Burns Injuries(EBIs)
Srivastava (2017) – 77 anak – Amputasi, 18 (23%), skin grafting 52 (67%) and flap cover in 29 (37%).

Dalam Penilaian derajat luka bakar pada anak dapat menggunakan Age Dependant Burn Graphs (Lund and Browder Chart), yang menggunakan luas luka bakar sesuai dengan usia anak.

to be continue . . .
Lampiran Kegiatan

Materi Kegiatan..

Foto Kegiatan..


Share:

Sabtu, 23 Desember 2017

Buku Terapi Bermain Anak di Rumah Sakit

Penulis : Heri Saputro, S.Kep., Ns., M.Kep

STIKes Surya Mitra Husada
http://orcid.org/0000-0002-7877-1687

Synopsis Buku


Perkembangan anak-anak tidak lepas dari bermain. Bagi anak, seluruh aktivitasnya adalah bermain yang juga mencakup bekerja, kesenangannya dan metode bagaimana mereka mengenal dunia. Ketika bermain, anak tidak hanya sekedar melompat, melempar atau berlari, tetapi mereka bermain dengan menggunakan seluruh emosi, perasaan, dan pikirannya. Demikian juga pada anak sakit, Bermain dapat digunakan sebagai media psiko terapi atau pengobatan terhadap anak yang dikenal dengan sebutan terapi bermain.
Buku ini ditujukan kepada mahasiswa keperawatan semester IV yang sedang melaksanakan praktek keperawatan di Rumah Sakit, mahasiswa praktek profesi keperawatan anak di Rumah Sakit, perawat ruang anak, mahasiswa kesehatan lain yang berperan dalam meminimalkan hospitalisasi pada anak serta orang tua anak yang sedang dirawat di rumah sakit.
Dalam buku ini menjelaskan proses terapi bermain dan bagaimana terapi bermain itu dapat meminimalkan masalah hospitalisasi pada anak seperti anak rewel, tidak mau makan, tidak bisa tidur dan anak yang tidak kooperatif saat menjalani perawatan di Rumah Sakit. Buku ini sangat mudah dipahami dengan adanya contoh, dengan kata-kata yang mudah dipahami serta mudah diaplikasikan di rumah sakit.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan banyak-banyak terima kasih kepada DRPM Kemenristek DIKTI, Ketua STIKes Surya Mitra Husada, Ketua LPPM, yang telah memberikan dukungan finansial serta dorongan untuk dapat menyelesaikan buku ini. Kami menyadari bahwa buku yang telah tersusun ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan saran-saran untuk penyempurnaan.

Klik untuk download --> Download
 --> Buku Ajar Terapi Bermain Anak

Share:

Selasa, 28 November 2017

Dampak Lingkungan terhadap kondisi psikososial anak

Abstract

Banyaknya  gangguan pada anak seperti  kurang bersosialisasi, kurang  inisiatif dan banyak diam karena takut salah dalam melakukan sebuah tindakan menandakan adanya masalah psikososil pada anak, dan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan perkembangan psikososial anak yaitu lingkungan keluarga. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh antara lingkuangan keluarga terhadap perkembangan psikososial pada anak usia 4–6 tahun di Kelurahan Tosaren.
Desain penelitian adalah observasional dengan pendekatan cross sectional. Responden diambil dengan menggunakan teknik Simple random Sampling. Populasi dalam penelitian ini Semua anak usia 4-6 tahun di Kelurahan Tosaren sebanyak 147 responden, sampel sebanyak 108 responden. Variabel independen adalah lingkungan keluarga, variabel dependen perkembangan psikosoial anak. Hasil analisis dengan menggunakan uji statistik Regresi logistic α=0,05.Hasil penelitian menunjukan hampir seluruh anak usia 4–6  di kelurahan Tosaren dengan lingkungan keluarga otoriter yaitu sebanyak 90 (83,3%) responden, sebagian besar anak usia 4–6  di kelurahan Tosaren dengan perkembangan psikosial bersalah yaitu sebanyak 75 (69,4%) responden dari total 108 responden. Hasil analisa data menunjukan bahwa tingkat signifikansi nilai p-value = 0,000 sehingga H1 diterima yang artinya ada pengaruh lingkungan keluarga terhadap perkembangan psikososial pada anak usia 4 – 6 tahun di Kelurahan Tosaren.Lingkungan mempengaruhi perkembangan psikososial anak, hal ini disebabkan karena lingkungan keluarga yang baik dapat memberikan kebebasan kepada anak untuk mengekspresikan dirinya sesuai dengan norma yang ada dalam kelurga dan masyarakat, sedangkan lingkungan keluarga yang terlalu otoriter dapat membatasi anak dalam mengekspresikan dirinya karena ketika anak mau berbuat sesuatu tetapi selalu memiliki perasaan takut bersalah sehingga anak lebih banyak pasif

Saputro, H., & Talan, Y. (2017). Pengaruh Lingkungan Keluarga Terhadap Perkembangan Psikososial Pada Anak Prasekolah. JOURNAL OF NURSING PRACTICE, 1(1), 1-8. Retrieved from http://jurnal.strada.ac.id/jnp/index.php/jnp/article/view/16
Share:

Senin, 27 November 2017

Hospitalisasi Anak


Hospitalisasi adalah masuknya individu ke rumah sakit sebagai pasien dengan berbagai alasan seperti pemeriksaan diagnostik, prosedur operasi, perawatan medis, pemberian obat dan menstabilkan atau pemantauan kondisi tubuh.
Hospitalisasi ini merupakan suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini (hospitalisasi) terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga  kondisi tersebut menjadi stressor baik terhadap anak maupun orang tua dan keluarga, perubahan kondisi ini merupakan masalah besar yang menimbulkan ketakutan, kecemasan bagi anak yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan psikologis pada anak jika anak tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Respon fisiologis yang dapat muncul meliputi seperti perubahan pada sistem kardiovaskuler seperti palpitasi, denyut jantung meningkat, perubahan pola napas yang semakin cepat, selain itu, kondisi hospitalisasi dapat juga menyebabkan nafsu makan menurun, gugup, pusing, tremor, hingga insomnia, keluar keringat dingin dan wajah menjadi kemerahan. Perubahan perilaku juga dapat terjadi, seperti gelisah, anak rewel, mudah terkejut, menangis, berontak, menghindar hingga menarik diri, tidak sabar, tegang, dan waspada terhadap lingkungan. Hal-hal tersebut membuat anak tidak nyaman serta mengganggu proses perawatan dan pengobatan pada anak. 

Hospitalisasi juga berdampak pada perkembangan anak. Hal ini bergantung pada faktor- faktor yang saling berhubungan seperti sifat anak, keadaan perawatan dan keluarga. Perawatan anak yang berkualitas tinggi dapat mempengaruhi perkembangan  intelektual  anak  dengan  baik  terutama  pada  anak-anak  yang kurang beruntung yang mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit. Anak yang sakit dan dirawat akan mengalami kecemasan dan ketakutan.
Dampak jangka pendek dari kecemasan dan ketakutan yang tidak segera ditangani akan membuat anak melakukan penolakan terhadap tindakan perawatan dan pengobatan yang diberikan sehingga berpengaruh terhadap lamanya hari rawat, memperberat kondisi anak dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak. Dampak jangka panjang dari anak sakit dan dirawat yang tidak segera ditangani akan menyebabkan kesulitan dan kemampuan membaca yang buruk, memiliki gangguan bahasa dan perkembangan kognitif, menurunnya kemampuan intelektual dan sosial serta fungsi imun
Perkembangan anak-anak tidak lepas dari bermain. Bagi anak, seluruh aktivitasnya adalah bermain yang juga mencakup bekerja, kesenangannya dan metode bagaimana mereka mengenal dunia. Ketika bermain, anak tidak hanya sekedar melompat, melempar atau berlari, tetapi mereka bermain dengan menggunakan seluruh emosi, perasaan, dan pikirannya. Demikian juga pada anak sakit, Bermain dapat digunakan sebagai media psiko terapi atau pengobatan terhadap anak yang dikenal dengan sebutan terapi bermain. 

Meskipun hospitalisasi menyebabkan stress pada anak, hospitalisasi juga dapat memberikan manfaat yang baik, antara lain menyembuhkan anak, memberikan kesempatan kepada anak unuk mengatasi stres dan merasa kompeten dalam kemampuan koping serta dapat memberikan pengalaman bersosialisasi dan memperluas hubungan interpersonal mereka. 

Dengan  menjalani  rawat inap  atau  hospitalisasi  dapat menangani masalah kesehatan yang dialami anak, meskipun hal ini dapat menimbulkan krisis. 
Manfaat psikologis selain diperoleh anak juga diperoleh keluarga, yakni hospitalisasi anak dapat memperkuat koping keluarga dan  memunculkan strategi koping baru. Manfaat psikologis ini perlu ditingkatkan dengan melakukan berbagai cara, diantaranya adalah

  1. Membantu mengembangkan hubungan orangtua dengan anak
    Kedekatan orang tua dengan anak akan nampak ketika anak dirawat di rumah sakit. Kejadian yang dialami ketika anak harus menjalani hospitalisasi dapat menyadarkan orang tua dan memberikan kesempatan kepada orang tua untuk memahami anak-anak yang bereaksi terhadap stress, sehingga orang tua dapat lebih memberikan dukungan kepada anak untuk siap menghadapi pengalaman di rumah sakit serta memberikan pendampingan kepada anak setelah pemulangannya.
  2. Menyediakan kesempatan belajar
    Sakit dan harus menjalani rawat inap dapat memberikan kesempatan belajar baik bagi anak maupun orangtua tentang tubuh mereka dan profesi kesehatan. Anak-anak yang lebih besar dapat belajar tentang penyakit dan memberikan pengalaman terhadap profesional kesehatan sehingga dapat membantu dalam memilih pekerjaan yang nantinya akan menjadi keputusannya. Orangtua dapat belajar tentang kebutuhan  anak untuk kemandirian, kenormalan dan keterbatasan. Bagi anak dan orangtua, keduanya dapat menemukan sistem support yang baru dari staf rumah sakit.
  3. Meningkatkan penguasaan diri
    Pengalaman yang dialami ketika menjalani hospitalisasi dapat memberikan kesempatan untuk meningkatkan penguasaan diri anak. Anak akan  menyadari bahwa mereka tidak disakiti/ditinggalkan tetapi mereka akan menyadari bahwa mereka dicintai, dirawat dan diobati dengan penuh perhatian. Pada anak yang lebih tua, hospitalisasi akan memberikan suatu kebanggaan bahwa mereka memiliki pengalaman hidup yang baik
  4. Menyediakan lingkungan sosialisasi
    Hospitalisasi dapat memberikan kesempatan baik kepada anak maupun orangtua untuk penerimaan sosial. Mereka akan merasa bahwa krisis yang dialami tidak hanya oleh mereka sendiri tetapi ada orang-orang lain yang  juga merasakannya. Anak dan orangtua akan menemukan kelompok sosial baru yang memiliki masalah yang sama, sehingga memungkinkan mereka akan saling berinteraksi, bersosialisasi dan berdiskusi tentang keprihatinan dan perasaan mereka, serta mendorong orangtua untuk membantu dan mendukung kesembuhan anaknya.








Saputro, H., & Fazrin, I. (2017). Penurunan Tingkat Kecemasan Anak Akibat Hospitalisasi dengan Penerapan Terapi BermainJKI (Jurnal Konseling Indonesia)3(1), 9-12.

Saputro, H., & Fazrin, I. (2017). Anak Sakit Wajib Bermain di Rumah Sakit: Penerapan Terapi Bermain Anak Sakit; Proses, Manfaat dan Pelaksanaannya. FORIKES; Ponorogo.
Share:

Minggu, 23 Juli 2017

Risiko Jatuh Pada Anak di Rumah Sakit

Pendahuluan

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Kemenkes RI, 2011). Hal ini tertuang dalam undang-undang Pasal 53 ayat 3 Undang-undang Kesehatan No.36 tahun 2009 yang menyatakan bahwa pelaksanaan pelayanan kesehatan (yang ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibandingkan kepentingan lain. Pasien juga berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit (Pasal 32 UU No.44/2009).

Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International (JCI). Tujuan dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh (Depkes RI, 2008).
Meminimalkan cedera merupakan salah satu dari sasaran keselamatan pasien/ International Patient Safety Goal(IPSG), yang juga salah satu dari standar Joint Commission International (JCI). Chapter/bab tersebut dikembangkan untuk mengidentifikasi masalah masalah yang berpotensi menimbulkan kejadian yang tidak diharapkan (KTD) (Aprilia, 2011). Cedera yang dimaksud dalam hal ini adalah cedera yang diakibatkan karena jatuh yang terjadi saat perawatan dirumah sakit. Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi tersebut termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien (Kemenkes RI, 2011). Program tersebut harus diterapkan di rumah sakit, selain itu juga rumah sakit hendaknya memfasilitasi dengan peralatan yang menunjang dan meminimalkan lingkungan yang dapat meningkatkan kejadian jatuh pada pasien serta peran serta  petugas dan keluarga agar dapat meminimalkan kejadian jatuh tersebut (Anshar, 2013).
Sebagian besar standar IPSG khususnya pencegahan risiko jatuh diterapkan oleh perawat, terutama di instalasi rawat inap. Perawat dituntut untuk selalu berinteraksi dengan pasien selama 24 jam, waktu kontak/interaksi paling banyak dibandingkan tenaga kesehatan lainnya untuk berhubungan dengan pasien. Perawat sebagai tenaga kesehatan yang jumlahnya terbesar di rumah sakit (sebesar 40-60%) memiliki tugas untuk selalu menerapkan pencegahan risiko jatuh sehingga memiliki peran kunci dalam menentukan keberhasilan akreditasi JCI. Sikap dan perilaku perawat dalam mendukung penerapan pencegahan risiko jatuh sangat diutamakan untuk menjamin keselamatan pasien (Aprilia, 2011). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Huey-Ming (2009) di Taiwan Medical Center, didapatkan bahwa ada pengaruh antara keluarga dan tenaga kesehatan terhadap kejadian jatuh pada pasien di rumah sakit tersebut. Dari data yang dikumpulkan pada bulan maret 2005 sampai juni 2006, terjadi 228 kejadian jatuh di rumah sakit tersebut. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa jatuh pada pasien terjadi dikarenakan tidak ada anggota keluarga yang mendampingi, karena itu perawat di Taiwan merawat dengan melibatkan keluarga dalam pelaksanaan asuhan keperawatan tanpa memperhatikan siapa anggota keluarga tersebut, selain itu juga disebabkan karena kurangnya kunjungan perawat ke pasien.
WHO menyatakan bahwa peluang terjadinya kecelakaan rumah sakit adalah 1 : 300 (WHO, 2005), hal ini menuntut pihak pelayanan kesehatan, khususnya di rumah sakit, agar menjadi perhatian utama untuk mengurangi risiko cedera yang dialami oleh pasien selaku pengguna jasa layanan. Dalam penelitian yang dilakukan Healey (2009) yang dilakukan di English and Welsh hospitals, didapatkan sebanyak 100 kasus jatuh per 1000 tempat tidur dalam setiap bulannya (Desember 2005 – Mei 2006). Pada penelitian lain yang dilakukan Sook (2009) pada 1 Januari 2004 hingga 31 Desember 2009, didapatkan data 93 pasien anak jatuh. Data di Indonesia terkait dengan kejadian tidak diinginkan (terutama jatuh) masih langka, hal ini disebabkan karena banyaknya perawat yang tidak mendokumentasikan hal tersebut, bahkan terkadang menyembunyikan apabila terdapat kasus tersebut dengan alasan pencitraan rumah sakit.
Jatuh dapat terjadi pada semua tipe institusi pelayanan kesehatan, pada semua populasi pasien kecuali pasien yang tidak sadar dan bayi yang belum dapat berjalan. Pada usia anak-anak, kejadian jatuh sering tidak dilaporkan dikarenakan sering dianggap sebagai masa perkembangan anak dalam hal belajar berjalan atau memanjat dan jatuh ke kelantai (Morse, 2009). Perkembangan anak-anak tidak lepas dari bermain. Bagi anak, seluruh aktivitasnya adalah bermain yang juga mencakup bekerja, kesenangannya dan metode bagaimana mereka mengenal dunia. Ketika bermain, anak tidak hanya sekedar melompat, melempar atau berlari, tetapi mereka bermain dengan menggunakan seluruh emosi, perasaan, dan pikirannya (Soetjiningsih, 2013). Begitu pula pada anak sakit, anak lebih aktif diatas tempat tidur. Dengan kondisi tempat tidur yang tinggi dari permukaan lantai serta kondisi handrailmerupakan beberapa penyebab cedera akibat jatuh pada anak (Khambalia, 2006).
Dari hasil Penelitian Saputro (2016), didapatkan beberapa hal yang mempengaruhi pencegahan risiko jatuh pada anak di rumah sakit, diantaranya persepsi perawat, sarana prasarana, keluarga/penunggu pasien, serta beban kerja perawat.

a.     Skala/pengukuran jatuh

1)      Humpty Dumpty Falls Scale
Hill-Rodriquest and Colleague (2009), menggunakan penilaian yang hampir sama dengan Graf’s, Humpty Dumpty Falls Scale (HDFS). HDFS ini terdiri dari tujuh item penilaian meliputi, usia, jenis kelamin, diagnosis, gangguan kognitif, faktor lingkungan, respon pembedahan/anestesi/sedasi, dan penggunaan obat-obatan (Jamerson, 2014). Humpty dumpty falls scale memiliki skor terendah 7 dan skor tertinggi 23, dengan 7-11 merupakan risiko rendah dan ≥ 12 merupakan risiko tinggi jatuh.
2)      CHAMPS Pediatric Fall Risk Assessment
Skala CHARMS merupakan singkatan dari change in mental status (perubahan status mental), history of fall(riwayat jatuh), age of less than 3 years(usia kurang dari 3 tahun), altered mobility (gangguan mobilitas), parental involvement (keterlibatan orang tua), dan safety interventions (tindakan yang aman) (Razmus, 2012)
3)      GRAF-PIF, (The General Risk Assessment for Pediatric In-patient Falls).
Sebuah alat ukur untuk pengkajian terhadap risiko jatuh pada pasien anak, digunakan untuk mengidentifikasi anak dengan risiko jatuh. Alat ukur ini diteliti dan dikembangkan di rumah sakit Lurie Children’s chicago oleh Elaine Graft, peneliti dan sekaligus koordinator keuangan klinik dan pengembangan organisasi. Kemudian penelitian dilanjutkan oleh rumah sakit Barbara Bush Children’s di Maine.
GRAF-PIF memiliki 5 skala ukur, yaitu lama rawat inap lebih dari 5 hari, diagnosis masalah tulang/muskuloskeletal, pasien mengalami/mendapatkan terapi fisik atau terapi okupasi, pasien dalam pengobatan anti seizure dan pasien terpasang IV atau heparin line (Jamerson, 2014).

Selain pengukuran diatas, dapat juga menggunakan Morse Fall Scale (MFS), the St. Thomas Risk Assessment Tool in Falling (STRATIFY) dan the Heindrich Falls Risk Model II (HFRM). MFS memiliki 6 item indeks dengan skor diatas 6 diidentifikasi memiliki risiko tinggi. STRATIFY dikembangkan untuk pasien di unit perawatan dewasa di rumah sakit dan memiliki 5 faktor, skor ringan adalah 1, dan skor 2 atau lebih sebagai risiko tinggi jatuh. HFRM dikembangkan di rumah sakit dan mempunyai 7 item dengam skor maksimum 25, skor 3 atau lebih merupakan risiko tinggi jatuh

a.       Penatalaksanaan

Prinsip dasar penatalaksanaan jatuh adalah dengan mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh, mengobati berbagai kondisi yang mendasari jatuh, memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai, mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup, pegangan (handrail), lantai licin (Setiati dan Laksmi, 2006)
Menurut Oliver and Collagues (2010), intervensi untuk mengurangi jatuh dalam tatanan rumah sakit terdiri banyak faktor diantaranya review jatuh yang terakhir, edukasi pasien, edukasi staff, penggunaan alas kaki, dan toileting. Dalam studi ini ditemukan juga intervensi tunggal yang efektif diantaranya program pencegahan delirium, pengurangan obat sedatif dan hipnosis, edukasi pasien secara mendalam dan melanjutkan program latihan (exercise) (Spoelstra, 2012).
Adapun menurut Morse (2009), pendekatan intervensi pasien jatuh diawali dengan melakukan pengkajian risiko jatuh pada pasien, kemudian dari hasil pengkajian akan diklasifikasikan menjadi pasien tidak berisiko/risiko rendah dan pasien dengan risiko tinggi. Pada pasien yang tidak berisiko/risiko rendah menurut Morse (2009) pencegahan yang dilakukan meliputi cegah jatuh yang tidak disengaja (accidental falls), memastikan lingkungan yang aman serta memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya.
Pada pasien yang berisiko tinggi pencegahan yang dilakukan meliputi minitor pasien, lindungi jatuh dari kursi/tempat tidur, ketika ambulasi, serta lindungi dari lingkungan berbahaya. Selain itu pastikan pergerakan pasien aman, cegah pasien menahan buang air, evaluasi kemampuan pasien dalam komunikasi, lakukan latihan dan keseimbangan serta pastikan status fisik pasien.

Kepustakaan

Anshar. 2013. Identifikasi Risiko Keselamatan Pasien (Patient Safety) di Rumah Sakit. Available at www.ansharbonasshilfa.wordpress.com. Diakses tanggal 3 September 2014

Atwood C. 2006. Nursing Procedures Manual: Falls Prevention Program (Pediatrics). UCSF Children’s Hospital

Best L.M. 2012. A Taxonomy of Human and Environmental Factors Related to Pediatric Patient Falls. The Ohio State University College of Nursing

Bullen K. 2009. Fall Risk Screening and Assessment. CNC Aged Care & Rehabilitation: New England

Depkes RI. 2008. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), 2nd ed. Bakti Husada: Jakarta

­­Donna L Wong. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatric Wong (Wong Essentials Of Pediatric Nursing Of Pediatric Nursing) alih bahasa: Egi Komara Yuda edisi 6. EGC; Jakarta

Hill-Rodriguez et al. 2009. The Humpty Dumpty Falls Scale: A Case–Control Study. Journal for Specialists in Pediatric Nursing. 14(1). 23-32

Khambalia A, Joshi P, Brussoni M, Raina P, Morronggiello B, Macarthur C. 2006. Risk Factors For Unintentional Injuries due to Fall In Children Aged 0-6 years: A Systematic Review. Injury Prevention. 12: 378-385

Morse J. 2009. Preventing Patient Falls: Establishing A Fall Intervention Program-2nd ed. Springer Publishing; New York

Saputro, Heri. 2016. Kinerja Perawat Dalam Pelaksanaan Pencegahan Risiko Jatuh di Ruang Rawat Inap Anak. Jurnal Ilmiah Kesehatan STRADA. 5(2). 27-32.

Widyaningtyas K.S. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Perawat Dalam Pendokumentasian Asuhan Keperawatan.. Available On: http://eprints.undip.ac.id/10502/. Di akses tanggal 23 April 2015
Share:

Selasa, 20 September 2016

Kamis, 07 Agustus 2014

INTEGRATED MANAGEMENT CHILDHOOD OF ILLNESS

Integrated Management childhood of illness


IMCI/MTBS

Singkatan dari "Manajemen Terpadu Balita Sakit/Integrated Management Childhood of Illness".
ICATT : IMCI Computerized Adaptation and Training Tool

Mempelajari Tentang :
  • Cara menangani balita sakit
  • Cara memperhatikan semua masalah dan kebutuhan anak secara terpadu.
  • Cara memberi asuhan dasar pada bayi muda, untuk memastikan agar bayi muda segera dapat beradaptasi dengan cepat dan aman

PRINSIP DARI PEDOMAN MANAJEMEN TERPADU KASUS KLINIS

Pedoman MTBS didasari oleh prinsip berikut:
  • Semua balita sakit umur sampai 5 tahun diperiksa untuk tanda bahaya umum dan semua bayi muda diperiksa untuk tanda-tanda penyakit sangat berat. Tanda-tanda ini menunjukkan perlunya rujukan segera atau dirawat di rumah sakit.
  • Anak dan bayi kemudian dinilai untuk gejala utama. Untuk anak yang lebih tua, gejala utama termasuk batuk atau kesulitan bernapas, diare, demam, dan infeksi telinga. Untuk bayi muda, gejala utama meliputi infeksi bakteri lokal, diare, dan ikterus. Sebagai tambahan, semua anak secara rutin dinilai status gizi dan imunisasinya serta masalah potensial lainnya.
  • Hanya menggunakan tanda-tanda klinis dalam jumlah terbatas, dipilih berdasarkan sensitivitasnya dan spesivisitasnya untuk mendeteksi penyakit.
  • Suatu kombinasi dari tanda-tanda individual mengarah pada satu klasifikasi anak dalam satu atau lebih kelompok gejala, dan bukan satu diagnosa. Klasifikasi penyakit didasarkan pada sistem triase dengan kode warna: “Merah muda“ menunjukkan perlunya rujukan segera sedangkan “kuning“ menunjukkan diperlukannya pengobatan spesifik pada pasien rawat jalan, dan “hijau“ menunjukkan perawatan di rumah.
  • Prosedur tatalaksana dari MTBS menggunakan obat-obat esensial dengan jumlah terbatas dan mendorong partisipasi aktif dari pengasuh anak dalam menangani anak.
  • Suatu komponen esensial dari MTBS adalah konseling bagi ibu/pengasuh anak berkaitan dengan perawatan di rumah, pemberian makan dan cairan yang tepat, dan kapan harus kembali ke klinik, dengan segera atau untuk tindak lanjut.

TATA LAKSANA BALITA SAKIT UMUR 2 BLN – 5 TH

1.  Penilaian dan klasifikasi anak

Menanyakan kepada ibu tentang masalah anak: 

- Beberapa teknik sederhana akan membantu anda agar lebih efektif pada saat menghadapi ibu dan anaknya yang sakit.
- Sambut ibu dengan baik tanpa terburu-buru dan mintalah ibu untuk duduk bersama anaknya.
- Upayakan untuk
  • Menghindari penggunaan kata yang menghakimi ibu dan anak seperti “salah“ atau “jelek“
  • Duduk dengan kepala anda sejajar dengan kepala ibu
  • Melihat ibu dan memberi perhatian saat ibu berbicara
  • Menghilangkan halangan (meja atau buku) antara anda dan ibu
  • Membuat ibu merasa bahwa anda punya waktu untuk mendengarkan

- Periksa apakah berat badan dan suhu badan anak sudah dicatat. Jika belum, tunggu sampai setelah anda membuat penilaian dan klasifikasi gejala utama anak. Selanjutnya timbang anak dan ukur suhunya.
- Jangan melepas baju anak atau mengganggu anak pada tahap ini.
- Tanyakan kepada ibu apa saja masalah anak. Alasan penting diajukannya pertanyaan ini adalah untuk mengawali berkomunikasi yang baik dengan ibu. Komunikasi yang baik memberikan jaminan kepada ibu bahwa anaknya akan mendapatkan perawatan yang baik. Pada bagian akhir dari kunjungan, anda akan mengajari dan menasihati ibu tentang perawatan anaknya di rumah. Hal ini akan mudah bagi anda bila sejak awal anda mampu berkomunikasi secara baik dengan ibu
- Tentukan apakah kali ini merupakan kunjungan pertama atau merupakan kunjungan ulang untuk masalah tersebut.
- Jika merupakan kunjungan pertama dari episode penyakit tersebut, berarti anda perlu mengikuti prosedur tatalaksana kasus dengan MTBS untuk menilai dan mengklasifikasikan anak.
- Jika anak telah datang beberapa hari sebelumnya untuk penyakit yang sama, berarti merupakan kunjungan ulang. Tujuan kunjungan ulang adalah untuk mengetahui apakah pengobatan yang diberikan saat kunjungan pertama memberikan hasil. Jika keadaan anak tidak membaik atau keadaannya memburuk, mungkin anda perlu merujuk anak atau mengganti pengobatannya

Memeriksa tanda bahaya umum

Berikut ini tanda bahaya umum pada anak kecil:
1- Anak tidak bisa minum atau menyusu
2- Anak memuntahkan semuanya
3- Anak kejang selama sakit ini atau kejang saat ini
4- Anak letargis atau tidak sadar

Menilai 4 gejala utama:

1. Batuk atau sukar bernapas (Tarikan dinding dada kedalam, Stridor (periksa saat menarik nafas)) 





2. Diare = BAB Cair ... 3 kali atau lebih dalam 24 jam, Lebih sering terjadi pada bayi umur di bawah 6 bulan yang mendapat susu sapi atau susu formula. Buang air besar yang sering tapi normal bukanlah diare.    §  Diare cair akut
Diare persisten : selama 14 hari atau lebih, dapat menimbulkan masalah gizi yang mempunyai kontribusi terhadap kematian pada anak dengan diare.
Disenteri atau diare berdarah menyebabkan dehidrasi dan bisa menyebabkan kurang gizi. Penyebab paling sering dari disenteri adalah bakteri Shigella. Disenteri amuba jarang terjadi pada anak kecil. Seorang anak bisa menderita diare cair dan disenteri.
















    3. Demam








    4. Masalah telinga




    Lain-lain (Gizi/Anemia, Vitamin, Imunisasi)

    2. Menentukan tindakan pada anak
    • Suatu klasifikasi pada lajur merah muda berarti anak membutuhkan perhatian dan rujukan segera atau perlu dirawat inap. Ini merupakan klasifikasi berat.
    • Suatu klasifikasi pada lajur kuning berarti anak membutuhkan obat oral yang tepat atau pengobatan lain. Tindakan mencakup mengajari ibu cara memberi obat oral atau mengobati infeksi lokal di rumah. Anda juga harus menasihati ibu cara merawat anaknya di rumah dan kapan harus kembali untuk kunjungan ulang.
    • Suatu klasifikasi pada lajur hijau berarti anak tidak membutuhkan tindakan medis spesifik seperti antibiotik. Ajari ibu atau pengasuh tentang cara merawat anak di rumah. Sebagai contoh, anda mungkin perlu menasihati tentang cara memberi makan anak sakit atau memberi cairan untuk diare. Selanjutnya ajari ibu tentang tanda yang menunjukkan kapan anak harus kembali segera ke fasilitas kesehatan.

    TATA LAKSANA BAYI MUDA UMUR < 2 BLN

    • Proses penanganan bayi muda umur kurang dari 2 bulan atau anak sakit umur 2 bulan sampai 5 tahun sangat mirip. Namun demikian bayi muda memiliki karakteristik khusus yang harus diperhatikan ketika anda melakukan klasifikasi penyakit mereka. Dalam hal ini, anda akan menilai, mengklasifikasi dan mengobati bayi muda sedikit berbeda dengan bayi yang berumur lebih tua atau pada anak balita.
    • MTBS tidak memasukkan tatalaksana kondisi yang berhubungan dengan kelahiran dan persalinan atau kondisi bayi baru lahir yang memerlukan tatalaksana khusus seperti asfiksia, sepsis akibat ketuban pecah dini atau infeksi lain dalam rahim, trauma lahir, atau kondisi akibat imaturitas


    1. Memastikan asuhan dasar untuk setiap bayi baru lahir


    2. Menilai dan mengklasifikasikan setiap bayi muda yang berada dalam penanganan anda

    3. Jika perlu, menentukan tindakan yang tepat, serta memberi pengobatan bayi muda sakit dan memberikan konseling bagi ibu
    4. Memastikan perawatan tindak lanjut yang tepat


      Share:

      Selasa, 28 Januari 2014

      Cara Memandirikan Anak

      Oleh : Ns. Heri Saputro

      Menjadi orang tua bukan hal yang mudah. Semua orang tua menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya, hingga terkadang sampai terlalu memanjakan anak tersebut walaupun dengan tujuan untuk kebaikan anak.
      Berikut penulis mencoba mengulas beberapa hal cara memandirikan anak dari berbagai sumber:

      1. Ajarkan anak untuk tidak melemparkan kesalahan. Saat anak jatuh tersandung batu/kursi, jangan mengatakan "Batunya nakal" lalu memukul batu/kursi tersebut. Hal ini dapat membuat anak akan menyalahkan pada benda/orang lain dimasa depan.
      2. Biarkan anak bermain dengan bebas dan menjelajahi dunianya. Jangan melarang melakukan hal tersebut, dengan itu anak akan mendapatkan pengalaman eksplorasi untuk dirinya. Dengan melarang justru akan membuat anak semakin penasaran dan akan membahayakan sebab anak akan mencari pelarian yang salah dikemudian hari. Pengawasan sangat diperlukan, bukan melarang anak. Biarkan anak jatuh ditanah, tersiram air dan lain-lain, selama tidak membahayakan (jika lecet, basah, tidak terlalu membahayakan)
      3. Bila anak terlibat masalah di sekolah atau tempat bermain, ketahui dahulu penyebabnya, ditanyakan dahulu pada orang-orang yang terlibat atau melihat kejadian, jangan langsung menyalahkan atau membela anak.
      4. Jika anak mengalami kekecewaan, tidak perlu orang tua langsung bertindak, tunggu beberapa waktu, latih anak untuk menyelesaikan masalahnya. Jika anak terus murung barulah orang tua berusaha membantu mencari jalan keluar.
      5. Biarkan anak belajar dari kesalahannya. Saat anak lupa tugas sekolahnya, sebaiknya orang tua tidak langsung turun ikut membantu anak/mengambil alih tugas anak. Bisa jadi anak akan dihukum oleh gurunya, tapi hal itu akan menjadi pelajaran bagi anak, di masa depan, anak tidak akan lalai lagi.
      6. Jangan membuat mainan/barang sebagai alat untuk membuat anak kembali senang atau bahagia. Hal ini sulit, tetapi harus dilakukan. Orang tua biasanya tidak tega melihat air mata anak, tetapi jika anak kalah dalam sebuah kompetisi, jangan langsung membelikannya mainan atau barang yang anak sukai. Anak akan berfikir semua masalah bisa diselesaikan secara mudah dengan materi.
      7. Pelajari cara ibu-ibu zaman dahulu  merawat anak. Ibu-Ibu zaman dahulu tidak serta merta datang hanya karena anaknya diomeli/dimarahi gurunya. Anak harus belajar menghadapi setiap masalahnya.
      8. Ajari anak untuk menyelesaikan masalah secara baik-baik terlebih dahulu. Jangan langsung mengadu ke orang tua. Katakan pada anak bahwa ibu dan ayah memang mencintai dan mendukungnya, namun anak juga harus bisa mencari jalan keluarnya sendiri.
      9. Sadarilah bahwa orang tua tidak selalu mampu mengubah keadaan. Jika anak terlambat bangun, apakah orang tua dapat mengundur jam masuk sekolah? Anak harus menghadapinya. Jadilah pendengar yang baik untuk anak, kadang anak tidak memerlukan bantuan orang tua. Anak hanya ingin punya orang yang selalu siap mendengarkan. Ternyata tindakan ini tanpa harus membuka mulut, tetapi sangat penting bagi anak. Berilah jalan keluar atau nasehat jika mereka meminta atau jika kita rasa saatnya memang tepat, selebihnya biarkan anak yang menanganinya.
      10. Jangan tergoda untuk selalu membantu anak atau mengendalikan kehidupannya. Ketika anak mengalami kesusahan, kelihatannya memang lebih mudah untuk langsung turun tangan dari pada membiarkannya belajar hikmah dari kejadian tersebut, tapi ketahuilah bahwa ini jauh lebih bermanfaat baginya dimasa depan. Anak akan tumbuh menjadi orang dewasa yang bijaksana. Ia akan mampu membedakan yang baik dan buruk.
      11. Sadarilah bahwa kita tidak mungkin menciptakan lingkungan yang benar-benar aman untuk anak kita. Orang tua tidak mungkin melindungi anak terus menerus. Jika kita terlalu sering melindungi anak, bisa-bisa anak menjadi kurang pergaulan dan tidak tahu apa-apa. Anak justru tidak bisa bersaing dengan anak lain.
      12. Sebagai orang tua memang harus melindungi anak, merawat anak, akan tetapi sadarilah diri orang tua sendiri juga haruslah dirawat. Bagaimana akan menolong dan membantu anak jika akhirnya orang tuanya menjadi sakit dan anak menjadi terabaikan.
      13. Selalu libatkan partisipasi keluarga lain, seperti Kakek, nenek atau paman anak dalam mendidik anak.

      Semoga bermanfaat.
      Share:

      Sabtu, 26 Oktober 2013

      Perbedaan Desain Kualitatif Dengan Desain Kuantitatif


      Sebelum kita melakukan penelitian yang sebenarnya, kita perlu memahami dengan apa yang disebut sebagai Desain Penelitian. 
      Desain penelitian merupakan prosedur-prosedur yang digunakan oleh peneliti dalam pemilihan, pengumpulan dan analisis data secara keseluruhan. Dapat dikatakan bahwa desain penelitian merupakan proses penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitian mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan penelitian yang dilakukan secara menyeluruh.
      Semua hal yang ada dalam penelitian digambarkan dengan adanya desain penelitian.

      Untuk Lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
       
      KARAKTERISTIKKUANTITATIFKUALITATIF
      DESAIN
      -Spesifik, rinci dan jelas
      -Ditentukan sejak awal
      -Menjadi pedoman langkah selanjutnya 
      -Umum
      -Fleksibel
      -Berkembang selama proses penelitian 
      TUJUAN
      -Menunjukkan hubungan antar variabel
      -Menguji teori
      -Mencari generalisasi yang mempunyai nilai prediktif
      -Menemukan pola hubungan yang bersifat interaktif
      -Menemukan teori
      -Menggambarkan realitas yang kompleks
      -Memperoleh pemahaman makna
      TEKNIK PENGUMPULAN DATA
      -Kuesioner
      -Observasi dan wawancara terstruktur
      -Participant observation
      -In dept interview
      -Dokumentasi
      -Triangulasi
      INSTRUMEN PENELITIAN
      -Test, angket, wawancara terstruktur
      -Instrumen yang telah terstandar
      -Peneliti sebagai instrumen
      -Buku catatan, tape recorder, kamera, handycam, dll
      DATA
      -Kuantitatif
      -Hasil pengukuran variabel
      -Deskriptif/kualitatif
      -Dokumen pribadi, catatan lapangan, ucapan/tindakan responden, dll
      SAMPEL
      -Besar
      -Representatif
      -Sedapat mungkin random
      -Ditentukan sejak awal
      -Kecil
      -Tidak representatif
      -Purposif, Snowball
      -Berkembang selama proses penelitian
      ANALISIS
      - Setelah selesai pengumpulan data
      -Deduktif
      -Menggunakan statistik untuk menguju hipotesis
      - Terus menerus sejak awal sampai akhir
      -Induktif
      -Mencari pola, model, tema, teori
      HUBUNGAN DENGAN RESPONDEN
      -Dibuat berjarak, bahkan tanpa kontak supoaya obyektif
      - Kedudukan peneliti lebih tinggi daripada responden
      -Jangka pendek sampain hipotesis dapat dibuktikan
      - Empati, akrab supaya memperoleh pemahaman yang mendalam
      -Kedudukan sama
      -Jangka lama sampai data jenuh, dapat ditemukan hipotesis atau teori
      USULAN DESAIN
      -Luas dan rinci
      -Literatur yang berhubungan dengan masalah dan variabel yang akan diteliti
      -Prosedur spesifik dan rinci langkah-langkahnya
      -Masalah dirumuskan dengan spsifik dan jelas
      -Hipotesis dirumuskan dengan jelas
      -Ditulis dengan rinci dan jelas sebelum terjun kelapangan
      -singkat, umum bersifat sementara
      -Literatur yang digunakan bersifat sementara. Tidak menjadi pegangan utama
      -Prosedur bersifat umum
      -Masalah bersifat sementara dan akan ditentukan setelah studi pendahulauan
      -Tidak dirumuskan hipotesis
      -Fokus penelitian ditentukan setelah diperoleh data awal
      KAPAN PENELITIAN DIANGGAP SELESAI
      Setelah semua kegiatan yang direncanakan dapat diselesaikan
      Setelah tidak ada yang dianggap baru/sudah jenuh
      KEPERCAYAAN TERHADAP HASIL PENELITIAN
      Pengujian validitas dan reliabilitan instrumen
       Pengujian kredibilitas, depenabilitas, proses dan hasil penelitian



      Bacaan Lainnya:

      Pengkajian Keperawatan Keluarga
      Peraturan Menteri Kesehatan No 17 Tentang Ijin Penyelenggaraan Praktek Keperawatan
      Meminimalkan perdarahan dengan traksi kateter pada pasien Post Op TURP
      Share:

      Sample Text

      Copyright © Sharing and Health Education | Powered by Blogger